Resep Kolak Kolang Kaling



Resep Kolak Pisang Cincau Kolang Kaling

Resep Kolak Pisang, Labu Kuning, Kolang-Kaling dan Nostalgia

"Monggo mampir Mas"! Teriakan kencang Mbah Lanang dari kursi reotnya yang nangkring di dekat pintu cukup memekakkan telinga. Teriakan itu diulang, dan diulang berkali-kali setiap kali pengendara sepeda onthel lewat di depan rumah. Beberapa pengendara berhenti dan masuk ke rumah yang sekaligus berfungsi sebagai tempat penitipan sepeda itu, namun banyak pula yang terus mengayuhkan pedal membawa sepeda mereka ke dalam pasar. Saya, Wulan dan Wiwin berdiri di depan pintu menunggu sepeda-sepeda datang. Hari itu adalah hari libur sekolah karena Lebaran akan segera tiba. Biasanya pada hari-hari menjelang Lebaran seperti ini pasar Paron di depan rumah kami menjadi sangat ramai, jalan raya sesak dengan pengendara sepeda dan pejalan kaki yang berlalu-lalang. Tugas kami saat libur panjang sekolah seperti ini adalah membantu penitipan sepeda Mbah Lanang. 

Seingat saya, Mbah Lanang (alias kakek dalam bahasa Indonesia) telah membuka usaha penitipan sepeda ini sejak  jaman kolonial. Okeh, itu mungkin terlalu lebay, namun yang jelas usaha penitipan sepeda ini telah ada sejak kami sekeluarga pindah ke Paron, saat itu saya masih duduk di kelas dua sekolah dasar. Rumah Mbah Lanang yang besar dan merangkap toko di bagian depannya memang lapang dan pas untuk diisi dengan sepeda. Lokasinya yang strategis dan tepat terletak di depan pasar Paron menjadi kelebihan tersendiri yang membuat pengunjung pasar berbondong-bondong menitipkan sepedanya ke kami. 

"Kenapa sih Mbah selalu berteriak-teriak begitu? Kan orang juga sudah tahu kalau disini tempat penitipan sepeda!" Gerutu saya yang merasa sumpek berdiri di depan pintu menanti sepeda datang sambil ditemani dengan gelegar "Monggo mampir Mas" di udara. "Itu ciri khasnya kali," jawab kakak saya, Wulan, dengan kalem. Berbeda dengan kepala saya yang mudah panas, kakak dan adik saya lebih tenang dan santai dalam menanggapi satu hal. "Ojo meneng wae! Ayo diceluk wonge (Jangan diam saja! Ayo dipanggil orangnya)", perintah Mbah tersebut membuat saya ingin mendelik.  

Satu hal yang saya pelajari - setelah membantu penitipan sepeda selama dua minggu - adalah Mbah Lanang selalu kesal ketika pengendara sepeda hanya lewat saja atau memilih menitipkan sepeda mereka di dalam pasar. Menurut Mbah, pertama karena mereka tidak tahu bahwa rumah kami membuka usaha penitipan sepeda, dan kedua karena kami kurang berteriak kencang memanggil mereka. Dua teori yang tentu saja saya tolak mentah-mentah. Penitipan sepeda Mbah Lanang sudah terkenal di seantero Paron, selain karena telah lama beroperasi juga karena Mbah menerima penitipan sepeda 24 jam, berbeda dengan penitipan sepeda di Pasar yang hanya buka hingga pukul tiga siang saja. Selain itu siapa sih yang tidak mendengar teriakan Mbah yang super kencang itu? 

Nah berbicara tentang membantu penitipan sepeda, banyak kenangan pahit, manis dan kecut yang kami rasakan. Sepeda onthel camel alias model unta yang berukuran besar sebenarnya cukup berat dan terlalu tinggi untuk bocah kelas empat dan enam SD seperti saya dan Wulan. Menggiringnya ke dalam rumah dan memarkirkannya entah di sudut manapun yang tersedia di rumah cukup menguras tenaga. Tapi itu belum seberapa berat dibandingkan ketika si pemilik tiba dan hendak membawa pulang sepedanya. Saat itu kami harus membongkar tumpukan sepeda yang 'berjibun' jumlahnya dan menempel satu sama lain. Dipastikan dua atau tiga sayatan dan beberapa memar akan kami temukan di kaki dan lengan. Untungnya urusan membongkar sepeda ini sebagian besar menjadi tanggung jawab orang dewasa yang membantu di penitipan. Menunggu si pemilik datang dan mencocokkan nomor sepeda adalah pekerjaan membosankan dan masalah pusing lainnya. Perut yang kosong dan tenggorokan kering karena puasa, sama sekali tidak membantu ketika kami harus berkeliling ke masing-masing sepeda yang berjumlah seratus lebih untuk menemukan angka. Pekerjaan ini biasanya kami lakukan hingga pukul dua siang dan sore hari adalah momen yang paling dinantikan. Pembayaran upah. ^_^
Mbah Lanang termasuk pelit untuk urusan pembayaran ini, upah kami kecil. Mungkin disesuaikan dengan tubuh mungil kami yang terkadang memerlukan bantuan orang dewasa untuk menggiring sepeda. Walau jumlah uang yang diterima tidak besar, namun ketika dikumpulkan setiap hari maka sebenarnya di hari Lebaran kami akan memiliki sejumlah tabungan yang lumayan. Wulan tepatnya yang selalu menabung, sedang saya dan Wiwin akan menghabiskannya saat itu juga. Cenil, tiwul, cendol, pisang goreng, tahu goreng, getuk, tape singkong, ongol-ongol, lemper, kolak, dan kolak, dan kolak, adalah sekian banyak makanan yang terus memenuhi benak saya sejak pagi hingga payment date tiba. Warna-warni dan bayangan kelezatannya terus berdansa di dalam kepala dan betapa sedapnya berbuka puasa dengan mereka. Makanan dan makanan, tobat memang isi kepala saya
Begitu upah diterima, sore harinya saya pun akan berlari ke warung kopi Pak Bashori di samping rumah. Warung tersebut ketika bulan Ramadhan baru buka di sore hari, beliau dengan senyum lebarnya menyambut saya. Pak Bashori adalah sekian sosok ramah yang selalu baik dengan keluarga kami saat jaman susah dahulu. Beliau bukanlah orang berada, namun terkadang satu atau dua buah pisang dan tahu goreng diberikannya gratis ke saya dan Wiwin yang suka mengintip di pintu warungnya, berharap bisa mencicipi makanan tersebut namun tidak memiliki uang untuk membelinya. Kolak pisang dan ubi lantas dibungkus di dalam plastik bersama beberapa buah tahu dan pisang goreng. Semua makanan ini lantas saya simpan di dalam kotak rahasia di dalam lemari pakaian bersama sebungkus cenil dan tape singkong yang telah dibeli tadi pagi. Cita-cita saya sangat pendek saat itu, menyantap semua makanan ini ketika adzan Maghrib tiba. ^_^

Well, cerita diatas adalah secuil pengalaman saya ketika masa kecil dahulu melewatkan bulan Ramadhan di rumah. Membantu penitipan sepeda, menerima upah dan membeli makanan berbuka, tiga hal ini selalu terkenang dalam ingatan  karena menyantap makanan hasil jerih payah sendiri memang tak terkira nikmatnya. Walau dulu bekerja dengan alm. Mbah Lanang terasa luar biasa menyebalkan, namun kini saya sangat mengagumi sosoknya. Pekerja keras yang ulet, hemat, rajin, tak mengenal lelah dan terus bekerja hingga usianya telah lanjut. Mbah Lanang bahkan masih membuka penitipan sepeda hingga usianya mencapai 75 tahun. Hingga akhir hayatnya beliau tetap ingin terus bekerja dan tidak mau bergantung pada orang lain.

Cenil, tiwul, dan segala macam jajanan lainnya yang dulu dengan mudahnya ditemukan di pasar Paron, kini tentu saja hanya tersisa bayangannya saja di benak. Sekarang saya sering tertawa geli ketika teringat betapa rajinnya atau betapa mengenaskannya saya waktu itu, mengumpulkan segala macam makanan untuk persiapan berbuka puasa sejak pagi hari. Seperti seekor tikus yang mengumpulkan aneka benda apapun di sarangnya. Terkadang semua kue-kue pasar itu bahkan tak tersentuh ketika bedug Maghrib tiba karena perut yang telah kenyang terisi dengan nasi dan lauk-pauknya. ^_^

Nah berbicara tentang kolak, makanan yang menurut saya paling lezat untuk berbuka, maka masa kecil saya penuh dengannya. Simple kolak yang terbuat dari pisang, ubi kayu atau ubi jalar, labu kuning dan kolang-kaling. Saat bedug di masjid sayup-sayup terdengar dari belakang rumah, saya pasti akan berlari ke semangkuk kolak yang dibuat oleh Mbah Wedhok atau Ibu saya sejak sore hari. Kolak buatan Mbah Wedhok bukanlah favorit saya, tampilan kuahnya coklat gelap sedikit mengerikan untuk disantap, apalagi mengingat Mbah memasaknya di tungku kayu di dalam dapur yang bercampur dengan kandang ayam. Warna coklat gelap ini sebenarnya karena Mbah Wedhok menggunakan pisang batu yang berjibun buahnya di kebun belakang. Tapi untungnya penjual kolak cukup banyak bertebaran di sekitar rumah ketika bulan puasa seperti ini, dengan sedikit upah hasil membantu Mbah Lanang, saya jadi bisa menikmatinya.  

Kolak bukanlah makanan yang susah dibuat, jika diukur skala tingkat kesulitan membuatnya dari satu hingga sepuluh, maka membuat kolak mungkin jatuh diangka satu saking mudahnya. Kolak lezat menurut saya haruslah memiliki kuah santan yang sedikit kental dan gurih, dengan manis gula aren yang khas, dan harum pandan yang nendang. Jika ketiga hal ini terwujud maka bersanding dengan bahan apapun sebagai pengisinya maka makanan ini akan tetap lezat. 

 
Pisang, ubi kayu, ubi jalar, talas, gembili, labu kuning, kolang-kaling, adalah bahan yang umum ditemukan di dalam kolak. Mbah Tini, adik Mbah Wedhok yang tinggal di desa Slambur, Madiun, membuat kolak dengan tambahan irisan bawang merah. Walau unik namun rasanya yang aneh membuat kolak versi ini bukan favorit saya. Tips Ibu saya untuk rasa manis kuah yang lebih nendang, orang Jawa menyebutnya dengan kata 'angklek', maka gula Jawa atau gula aren harus dicampur dengan gula pasir plus sedikit garam. Kolaborasi ketiganya akan membuat kuah kolak tidak cemplang. Tips lain adalah rebus kuah hingga santan benar-benar matang, santan yang kurang lama direbus tidak akan mengeluarkan aroma dan rasa yang gurih. 

Berikut resep dan prosesnya ya. 

Kolak Pisang, Labu Kuning dan Kolang-Kaling

Resep hasil modifikasi sendiri

- 8 buah pisang raja kuning, kupas dan potong serong menjadi 4 bagian

- 1/4 buah labu parang (labu kuning) sekitar 800 gram, cuci bersih kulitnya, buang biji dan potong-potong bersama kulitnya ukuran 4 x 4 cm

- 300 gram kolang-kaling, cuci bersih

- 200 gram gula aren atau gula Jawa

- 2 liter air 

- 3 lembar daun pandan, simpulkan

- 50 gram gula pasir

- 1/2 sendok teh garam

- 2 buah santan instan Kara segitiga (@65 ml)

- 1/2 sendok teh vanili bubuk

Siapkan semua bahan, jangan kupas kulit labu kuning, kita akan memasaknya bersama dengan kulitnya agar labu tidak mudah hancur. Buang biji-biji labu tapi usahakan bagian serat di tengah labu ikut dimasukkan ke dalam kolak. Sisihkan.

Siapkan panci, masukkan gula Jawa dan 1/2 bagian air (1 liter) rebus hingga gula Jawa menjadi larut. Angkat dan saring. Kembalikan air gula ke dalam panci, masukkan daun pandan dan potongan labu kuning. Rebus dengan api sedang hingga labu menjadi empuk, tes dengan menusuk labu menggunakan garpu, jika ujung garpu melesak ke daging labu dengan mudah maka labu telah matang. 

Masukkan sisa air, dan kolang-kaling, rebus hingga mendidih. Tambahkan gula pasir, dan garam, aduk rata. Masukkan potongan pisang, aduk dan masak hingga mendidih. 

Tuangkan santan, masak dengan api kecil sambil kolak sesekali diaduk agar santan tidak pecah, masak hingga santan mendidih dan matang. Tambahkan vanili bubuk, aduk rata. Cicipi rasanya, jika kurang manis tambahkan gula pasir. Angkat dan sajikan. Zuper yummy!

TESTIMONI PEMBACA

Nita Puspita:

Kolak anget2 di musim dingin 😄😋😅 #homemade Resep Justtryandtaste Blogspot

Gallery Resep Kolak Kolang Kaling

Resep Kolak Pisang Kolang Kaling Menu Takjil Sederhana Nan

Resep Kolak Pisang Labu Kuning Kolang Kaling Dan Nostalgia

Resep Dan Cara Membuat Kolak Pisang Kolang Kaling

5 Resep Dan Cara Membuat Kolak Untuk Buka Puasa Tokopedia Blog

Kolak Kolang Kaling Steemit

Cara Membuat Kolak Kolang Kaling Sederhana Catatan Membuat

Resep Kolak Pisang Kolang Kaling Bersantan Manis Gurih

Resep Kolak Ubi Kolang Kaling Pekaninspirasi

Resep Kolak Ubi Kolang Kaling Dan Pacar Cina

Resep Olahan Kolang Kaling Warta Kota

Cara Membuat Kolak Kolang Kaling Pisang

4 Resep Kolak Pisang Untuk Buka Puasa Yang Enak Dan Bergizi

Resep Kolak Ubi Jalar Kolang Kaling Bikinramadhanberkesan

406 Resep Kolak Pisang Dan Kulang Kaling Enak Dan Sederhana

Resep Dan Cara Membuat Kolak Pisang Ubi Nangka Yang Manis Dan Lezat Sebagai Takjil Buka Puasa

Resep Kolak Kacang Hijau Kolang Kaling Haniya Kitchen

Kolangling Kolak Kolang Kaling Bahan Resep Masak Enak

Roti Rasa Nusantara Kumpulan Resep Kolak Pisang Kolang

Resep Kolak Kolang Kaling Dan Ubi Jalar Oleh Afni Nur


Belum ada Komentar untuk "Resep Kolak Kolang Kaling"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel